![]() |
Lokasi Blok Masela (diambil dari www.republika.co.id) |
Kontrak
Sejak November 1998, telah ditandatangani KKS (Kontrak Kerja
Sama) dengan kontraktor untuk mengelola blok Masela. Kontraktor yang memegang
blok ini ada 2 yaitu: Inpex dan Shell. Dengan pembagian PI (Participating
Interest), 65% milik Inpex dan 35% milik Shell. Kontrak tersebut akan habis
pada tahun 2028 (30 tahun sejak tandatangan). Namun, sampai saat ini Blok
Masela belum berproduksi dan masih terkendala masalah teknis seperti PoD.
Sesuai dengan PoD I (Plant of Development) blok Masela yang
disetujui oleh pemerintah pada Desember 2010, KKKS akan membangun FLNG
(Floating LNG) dengan kapasitas kilang 2,5 juta ton per tahun (MTPA). Nilai
investasi dari proyek ini sekitar US$ 5-7 milliar. Diharapkan blok ini mulai
berproduksi pada tahun 2018. Berita tahun 2014 menyebutkan Inpex selaku
kontraktor telah menyelesaikan pembangunan FEED (Front End Engineering Design)
FLNG tersebut pada September 2014. Pada PoD I, ditargetkan Lapangan Abadi mampu
memproduksi gas sebesar 355 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan kondensat
sebanyak 8.400 bpd (barrel per day). KKKS menyebutkan bahwa lapangan Abadi
memiliki jumlah cadangan proven sebesar 6,05 TCF. Namun, seiring berjalannya
waktu, ternyata ditemukan cadangan gas baru di lapangan Abadi sehingga cadangannya mencapai 10,73 TCF. Oleh karena
itulah, pihak kontraktor mengajukan revisi PoD I ke pemerintah (dalam hal ini
SKK Migas dan Kementerian ESDM yang akan diputuskan oleh Presiden) pada akhir
2014. SKK Migas sudah menyetujui revisi PoD ini. Kementerian ESDM juga
cenderung menyetujui revisi ini. Namun, hingga sekarang (24 Januari 2016) Presiden
masih belum memutuskan untuk menyetujui revisi ini. Adapun concern dari revisi
itu secara garis besar adalah kemungkinan perpanjangan kontrak, pengembangan
sumur dan peningkatan kapasitas FLNG.
Untuk masalah perpanjangan kontrak sebenarnya tidak secara
tersurat dituliskan. Menurut peraturan juga, pihak kontraktor belum
diperbolehkan untuk mengajukan permohonan perpanjangan kontrak. Perpanjangan
kontrak baru bisa dibicarakan minimal 10 tahun sebelum kontrak habis. Secara
tersirat sebenarnya bisa dipahami. Seiring dengan adanya revisi maka akan
menyebabkan FID (Final Investment Decision) juga mundur dari jadwal awal. Menurut
Kepala SKK Migas, apabila revisi PoD ini disetujui, pihak Inpex diyakini baru
akan memasuki tahap FID pada tahun 2018. Kepala SKK Migas menambahkan menurut
hitungannya, blok Masela baru bisa berproduksi setelah 5 tahun dari FID.
Artinya, blok Masela baru bisa produktif pada tahun 2023. Seperti yang telah
disebutkan di atas bahwa kontrak akan berakhir pada 2028, artinya kontraktor
hanya akan menikmati hasil selama 5 tahun. Bahkan menurut salah satu sumber, revisi
ini menuliskan bahwa Blok Masela baru akan masuk on-stream pada tahun 2024. Oleh
karena itu, banyak pihak berspekulasi jika ada intensi dari kontraktor untuk
memperpanjang kontrak hingga 2048.
Revisi kontrak juga membahas tentang pengembangan sumur.
INPEX saat ini sudah melakukan
pengeboran 11 sumur. Sepuluh sumur dilakukan di Lapangan Abadi dengan rincian: 1
sumur eksplorasi (Abadi-1) dan 9 sumur delineasi (Abadi-2 hingga Abadi-10).
Selain lapangan Abadi, Inpex juga berusaha mencari sumber migas di lapangan
lain. Maka terciptalah Prospek Berkat. Satu sumur eksplorasi dinamai Berkat-1.
Karena pihak kontraktor meyakini masih banyak cadangan gas alam yang belum
dieksplor, maka diajukanlah izin untuk melakukan pengeboran 9 sumur
pengembangan.
![]() |
Perbedaan OLNG dan FLNG (diambil dari https://pmahatrisna.wordpress.com/2011/08/12/sketsa-konsep-flng/) |
FLNG atau OLNG
Concern yang terakhir dan cukup menyita perhatian rakyat saat
ini adalah masalah peningkatan kapasitas kilang gas. Mengulang dari yang
sebelumnya, sebenarnya PoD I blok Masela telah disetujui pada 2010 silam.
Detail dari PoD I tentang kilang adalah pembangunan FLNG dengan kapasitas 2,5
juta ton metrik. Namun ternyata cadangan baru yang ditemukan lebih besar dari
kapasitas kilang. Diajukanlah rencana pembangunan kilang gas dengan model FLNG
yang berkapasitas 7,5 juta ton metrik (3 kali lipat dari yang rencana
sebelumnya). Nilai investasinya pun juga membengkak menjadi lebih dari 2 kali
lipatnya, yaitu sebesar US$ 14,3 milliar (awalnya sekitar US$ 7 milliar).
Beda zaman beda kebijakan. Itulah yang sedang terjadi di Indonesia. Saat disetujuinya PoD I tahun 2010 adalah waktu Pak SBY menjabat. Dulu, keputusan untuk menyetujui PoD I terbilang cepat. Sekarang yang memegang tampuk kekuasaan adalah Pak Jokowi. Pemerintah era saat ini bisa dibilang lebih awas dan hati-hati, karena Blok Masela ini adalah salah satu Blok migas yang sangat besar sehingga potensinya harus bisa dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, Pemerintah tidak mau kecolongan. Bukan hanya soal setuju peningkatan kapasitas kilang. Namun pemerintah sekarang bahkan mulai mempertanyakan apakah model teknologi FLNG adalah teknologi yang terbaik untuk Blok Masela. Sehingga, saat ini (24 Januari 2016), keputusan menyetujui revisi PoD I masih abu-abu.
Pemerintah juga bisa dibilang sedang terpecah menjadi 2
pihak. Pihak pertama adalah pihak yang menyetujui revisi PoD I. Pihak kedua
adalah pihak yang menginginkan pembangunan FLNG dibatalkan dan diganti dengan
OLNG (On-shore).
Pihak yang menyetujui revisi ini adalah sebagian besar
pemerintah terkait seperti SKK Migas dan Menteri ESDM (Sudirman Said). SKK
Migas lewat kajiannya menyatakan apabila FLNG lebih banyak memiliki keunggulan daripada
OLNG. Kajian ini adalah hasil kajian dari konsultan independen profesional (Poten
and Partners) yang dipilih SKK Migas. Untuk pengembangan OLNG membutuhkan investasi sebesar US$ 19.3
milliar. Sedangkan, FLNG hanya membutuhkan investasi sekitar US$ 14.8 milliar. Jadi,
FLNG membtuhkan investasi yang lebih murah. Secara pendapatan nasional,
konsultan independen mengklaim apabila pengelolaan melalui kilang di darat
hanya akan mendatangkan pendapatan nasional sebesar 48 milliar. Sedangkan,
apabila menggunakan teknologi FLNG akan mendatangkan pendapatan sebesar US$ 57
milliar. Jadi, ada selisih sekitar US$ 9 millliar atau kira-kira 117 Trilliun
rupiah(dengan kurs 1 US$=Rp 13.000). Selain dari segi investasi dan ekonomi,
FLNG juga dipercaya lebih memiliki multiplier effect, contohnya: efek untuk
industri galangan kapal. Menyebabkan fabrikasi kapal semakin kompetitif dan
lebih bersaing. Karena, untuk penyaluran LNG ke konsumen (industri lain)
membutuhkan mode transportasi laut yaitu kapal. Otomatis, industri galangan
kapal bisa memiliki pasar/konsumen baru. FLNG diklaim lebih memiliki kemudahan
dalam menyalurkan produk ke konsumen. FLNG juga disebut cocok dengan kondisi
Blok Masela (letak, kedalaman sumur). Selain
itu, FLNG bisa menjadi tonggak yang mendukung proyek Oil & Gas Deepwater
Indonesia, seiring dengan tuntutan di masa depan bangsa Indonesia. Beberapa hal
lain yang diduga mendukung pembangunan kilang di laut antara lain permasalahan
pembebasan lahan. Masalah pembebasan lahan memang selalu menjadi persoalan yang
cukup sulit dihadapi oleh sebuah industri. Setelah masalah pembebasan lahan
juga, kadangkala industri juga akan mengalami problema keberterimaan di
masyarakat. Aspek non-teknis inilah yang disebut-sebut membuat kontraktor
menjadi “ogah” untuk membangun kilang di darat.
Pihak yang menolak revisi ini dan menginginkan dibangunnya
kilang di darat cukup banyak. Tapi, tokoh yang cukup gencar mengumandangkannya
adalah Menko Kemaritiman (Rizal Ramli). Sarannya, pembangnuan kilang di darat
bisa dilakukan di Kepulauan Aru. Lewat kajian yang dilakukan FORTUGA (Forum
Tujuh Tiga), Rizal Ramli mengemukakan sangat mendukung apabila dilakukan pembangunan
kilang darat di Blok Masela. Alasannya cukup banyak, antara lain
hitung-hitungan pembangunan kilang di laut (FLNG) yang dilakukan oleh konsultan
independen SKK Migas sedikit tidak bisa dipercayai. Karena menurut kajian yang
dilakukan timnya, pembangunan kilang di laut akan menelan biaya sebesar US$ 22 milliar. Sangat tidak mungkin apabila FLNG yang akan dibangun, lebih
murah dari FLNG yang sedang dibangun di Australia. Hitungannya juga,
pembangunan kilang di darat hanya akan menghabiskan biaya sekitar US$ 16
milliar. Selain itu, menurutnya, pembangunan kilang di darat lebih memiliki
multiplier effect untuk Indonesia. Apabila kilang dibangun di darat, tentu bisa
dibangun juga industri petrochemical di sekitar lokasi kilang seperti: pabrik
plastik, botol dll, serta bisa dibangun pula Pembangkit Listrik, akan bermanfaat
juga untuk masyarakat Timur (Maluku dan sekitarnya) apabila bisa dibangun
jaringan gas alam. Yang intinya, industri hilir akan lebih berkembang jika
pembangunan kilang dilakukan di darat. Bahkan, Rizal Ramli optimis bisa membuat
Pulau Aru lebih besar dari Bontang. Dengan adanya berbagai industri di Pulau Aru
tentu saja akan menyerap banyak tenaga kerja yang menyebabkan pembangunan lebih
merata dan kawasan Timur bisa “hidup”.
Agar lebih jelas, berikut adalah infografis singkat dari kajian independen (dikutip dari katadata.co.id)
Tanggapan
Sebagai masyarakat awam, dengan dualisme pendapat/kajian antara kubu SKK Migas + Menteri ESDM dengan Menko Maritim seperti di
atas tentu kita akan menjadi bingung. Pihak manakah yang kajiannya benar.
Manakah pihak yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun sebelum
itu, saya rasa perlu diberikan kredit lebih untuk pemerintah. Tentang bagaimana
sikap pemerintah dalam menghadapi persoalan ini, pantas diberikan acungan
jempol. Pemerintah sangat berhati-hati dalam memutuskan persoalan masif ini.
Karena Blok Masela ini adalah blok besar yang diperkirakan 70 tahun baru habis
(tahun-1 adalah tahun awal produksi). Saat cadangan gas alam yang terkandung
sangat besar, ini bukan mengenai satu industri lagi. Bukan tentang industri gas
lagi. Tapi, ini menyangkut beberapa industri seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya. Oleh karena itu, harus diperhatikan dari berbagai sisi.
Teknologi kilang baik itu di darat (OLNG) maupun FLNG pasti
memiliki beberapa kekurangan masing-masing. Untuk informasi, saat ini baru ada satu kilang terapung di laut (FLNG) yang sudah terbangun di dunia yaitu Prelude. FLNG pertama ini dibangun di Australia oleh Shell. Sebelum itu, pada tahun 2011 lalu,
bahkan Indonesia digadang sebagai negara pertama yang akan membangun FLNG. Pendapat apa yang bisa ditarik? Sangat
relevan saya rasa, jika kita menarik pendapat bahwa pembangunan FLNG memiliki
nilai resiko yang lebih tinggi daripada kilang di darat. Tidak ada jaminan
pembangunan FLNG bisa sukses. Sehingga, pembangunan FLNG lebih membuat
“khawatir” di aspek keamanan dan investasi. Selain itu, bila dibanding-bandingkan
memang FLNG memiliki multiplier effect yang lebih sedikit dibandingkan dengan
kilang di darat. Hanya mungkin akan berimbas pada aspek teknologi dan
pendapatan langsung. Mungkin dengan dibangunnya kilang di laut, kita akan
mendapatkan pendapatan langsung dari penjualan produk gas yang lebih besar.
Namun, jika kita jeli, sebenarnya produk-produk ini lebih banyak diekspor ke
luar negeri. Hanya sedikit sekali yang digunakan oleh industri Petrochemical Indonesia.
Contohnya, kita ekspor gas ke Singapura dengan harga ala kadarnya lalu kita
impor botol dari Singapura dengan harga yang mungkin berkali lipat lebih mahal.
Begitulah kondisi riil yang sedang terjadi di Indonesia. Sangat memprihatinkan.
Di lain sisi, pembangunan kilang di darat juga tidak mudah.
Masalah pembebasan lahan bukan persoalan yang mudah. Apalagi menurut salah satu
kajian, untuk membangun kilang di darat memerlukan lahan sekitar 40 Ha. Selain
itu, saat ini belum ada sama sekali jaringan pipa di daerah itu. Membangun jaringan pipa ratusan kilometer ke darat merupakan persoalan yang tidak terlalu mudah. Sehingga akan
diperlukan waktu yang lebih lama untuk membangun kilang di darat. Hal negatif
lain, saat ini di sekitar Blok Masela belum ada industri terkait seperti Power
Plant dan Petrochemical. Sehingga, jika bersikeras dilakukan pembangunan kilang
di darat juga harus menunggu industri terkait sudah siap. Artinya apa? Waktu
yang dibutuhkan untuk pembangunan kilang di darat menjadi lebih lama lagi.
Saran: jika memang nantinya diputuskan pembangunan kilang di darat, setidaknya Pemerintah
membantu pembebasan lahan dan mendorong investor untuk melakukan investasi
industri di sekitar itu.
Setelah memberikan kredit/pujian pada pemerintah terkait sikap dalam menanggapi kasus Blok Masela. Saya rasa, tidak
lengkap tanpa adanya kritisi terhadap pemerintah. Memang pemerintah terkesan
lebih berhati-hati dan awas, namun secara tidak langsung menunjukkan sikap “lamban” dari
pemerintah. Keputusan menjadi berlarut-larut. Revisi yang sudah diajukan sejak
akhir 2014 belum diputuskan hingga sekarang. Apa imbasnya? Pastinya akan mempengaruhi citra Indonesia di mata investor. Kejelasan investasi dipertanyakan. Apalagi
dengan perdebatan teknologi yang akan digunakan di Blok Masela, ibaratnya
Indonesia seperti menarik persetujuan PoD I. Indonesia seperti tidak yakin akan
keputusannya dahulu. Padahal saat ini, INPEX sudah menyelesaikan FEED FLNG. Kekonsistenan
juga dipertanyakan.
Apapun keputusan yang diambil pemerintah nantinya, sebaiknya
harus benar-benar dilakukan demi kepentingan bangsa. Bukan karena mendapatkan “titipan”.
Misalnya, ingin memaksakan pembangunan FLNG karena dapat “titipan” dari
kontraktor yang “ogah” membangun kilang di darat karena persoalan sosial. Misalnya lagi, ingin memaksakan
pembangunan kilang di darat karena mendapat “titipan” dari perusahaan pipa,
perusahaan energi (listrik), perusahaan petrokimia dll. Sebagai seorang mahasiswa,
saya hanya bisa berharap Pemerintah tidak “keblinger”. Tetap memperjuangkan dan
mengambil keputusan yang terbaik untuk Blok ini. Karena keputusan ini tidak
hanya akan berpengaruh untuk 1 - 10 tahun ke depan. Tapi, keputusan inilah yang
nantinya akan dirasakan oleh anak cucu bangsa Indonesia di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, jangan sampai ada kepentingan selain kepentingan
bangsa di Blok Masela.
Baca selanjutnya (setelah keputusan Presiden) di Kilang LNG Blok Masela di Darat, Merugikan atau Menguntungkan?
Referensi:
Post a Comment
Post a Comment